Refleksi Mei 98 dari “Sapu Tangan Fan Ying”

medcom.id, Jakarta: Sudah dua windu silam, tragedi berdarah itu terjadi. Puluhan ribu warga keturunan Tionghoa turut menjadi korban dalam peristiwa yang disebut “Tragedi Mei 98”.
Untuk memaknai 16 tahun tragedi kemanusiaan itu, perhimpunan Generasi Muda Indonesia Tionghoa (GEMA INTI) dan Komnas Perempuan terpanggil untuk memperingatinya dengan mengadakan acara Malam Refleksi 16 Tahun Tragedi Mei 98 dengan tema, “Menolak Lupa : Forgiven NOT Forgotten” di Kantor Komnas Perempuan,Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2014).
Inti dari acara ini adalah merefleksikan kembali ingatan terhadap tragedi Mei 98 yang sudah terjadi 16 tahun lalu melalui penayangan sebuah film yang menceritakan gadis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan massal pada saat tragedi itu terjadi.
Film itu berjudul “Sapu Tangan Fang Yin” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film diadaptasi dari puisi esai karangan Denny JA.
Setelah melalui beberapa rangkaian acara, sekitar pukul delapan malam, pemutaran film dimulai. Setelah semua lampu ruangan dimatikan, suasana berubah hening hingga suara langkah kaki pun begitu jelas terdengar di ruangan yang berukuran 15 x 7 meter persegi itu.
Film itu sendiri menceritakan tentang seorang gadis Tionghoa bernama Fang Yin yang memiliki mimpi untuk mendirikan yayasan bagi anak jalanan yang tak mendapat pendidikan. Setiap hari, selepas kuliah, Yin selalu menyempatkan datang di salah satu kolong jembatan, di sana ia mengajar berbagai ilmu pendidikan kepada anak-anak jalanan.
Hubungan Yin dengan anak didiknya begitu dekat, bahkan bila kegiatan belajar usai, salah satu muridnya bernama Vila selalu sedih karena harus ditinggal Yin pulang, di saat itu lah datang Albert yang membagi-bagi permen agar anak-anak kembali ceria. Albert sendiri adalah pacar Yin, ia pacar yang baik karena selalu mendukung semua kegiatan Yin.
Setelah selesai mengajar, Yin dan Albert bertolak pulang, namun mereka selalu mampir berehat di sebuah warung tempat biasa mereka makan. Di warung ini banyak obrolan yang mereka perbincangkan, obrolan soal anak-anak menjadi topik yang paling banyak mereka diskusikan, sampai akhirnya Yin mengutarakan mimpinya yakni mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak jalanan.
Albert menanggapi dengan semangat dengan seraya berkata, “Kenapa cuma mimpi? ayo kita jalankan, ntar kita cari caranya deh,” sahut Albert. Senyum Yin mulai melebar sambil memperhatikan cara Albert menyantap makanannya.
Hingga tiba pada hari yang membuat kehidupan Yin berubah ketika pada hari rabu 13 Mei 1998, Yin yang tengah menonton TV saat itu, mendapat telepon dari ayahnya. Dengan suara terengah-engah ayah Yin berkata, “Fang Yin, kunci semua pintu, tutup semua jendela, jangan sampai rumah kita mengundang, tutup semua gorden, papi masih di toko gak bisa pulang, di depan toko ramai,” perintah ayah Yin.
Yin dan pembantunya segera menutup pintu, namun terlambat, pembantu Yin dipukul hingga terjatuh oleh segerombolan orang, Yin menuju kamarnya untuk bersembunyi, ia sesegera mungkin menyelinap ke bawah tempat tidur sambil menelpon ayahnya.
Sayang, Yin terkejut sambil menjatuhkan telepon yang sedang tersambung ke telepon ayahnya. Karena ketahuan bersembunyi, ia tak bisa melarikan diri, ia sudah dikepung oleh lima orang pria berwajah bengal. Rambut Yin dijambak, tubuhnya diseret ke ranjang, pipinya ditampar hingga tak berdaya. Ssekali mulut Yin disumpal oleh tangan salah satu pria karena ia menjerit ketakutan. Ayah Yin hanya bisa pasrah mendengar rintihan putrinya melalui suara telpon yang dijatuhkan Yin.
Pada adegan ini, beberapa penonton wanita yang menyaksikan film itu gusar, sesekali mengganti posisi duduk mereka, sempat terdengar teriakan kecil. Ada yang menutup wajah dengan tangan, ada pula yang membalikkan kepala mereka yang tak sanggup menonton adegan di film itu.
Pada saat tragedi itu, banyak gadis bernasib sama dengan Yin. Tercatat sebanyak 78 orang warga keturunan menjadi korban perkosaan, 85 orang mengalami kekerasal seksual, 1.217 orang tewas mengenaskan. 1.190 di antaranya mati terbakar, 91 orang mengalami luka parah, dan 31 orang dinyatakan hilang.
Ayah Yin berusaha mencari keadilan dengan meminta bantuan pengacara dengan bayaran berapapun untuk menuntut pelaku yang membuat putrinya mengalami depresi.Namun upaya ini tak membuahkan hasil. Ayah Yin juga melaporkan ke pihak kepolisian, namun hasilnya juga nihil.
Kondisi putrinya Yin tak mengalami kemajuan, bahkan orang tua Yin membawa guru spiritual untuk mengajarkan keikhlasan konghucu agar dapat melupakan masa lalunya dan kembali hidup normal. Kondisi Yin mulai berangsur pulih, namun ia tetap tidak dapat melupakan peristiwa yang merenggut kehormatannya itu.
Sementara itu kondisi di masyarakat mulai tenang, namun sebagian warga Tionghoa memendam kekhawatiran bahwa peristiwa itu terulang kembali. Mereka banyak menjual barang-barang berharga mereka untuk bersiap-siap hengkang dari Indonesia untuk merantau ke manca negara.
Suatu ketika, Albert menelpon Yin, berkali-kali ditelpon tak mendapat jawaban, ternyata Yin dan Keluarganya sudah pindah ke Amerika untuk menata kehidupan yang baru, semenjak tragedi Mei itu tercatat 70 ribu warga keturunan meninggalkan Indonesia.
Hidup di Amerika, membuat Yin lebih tenang. Ia pun dikenalkan orang tuanya kepada psikiter bernama Raisa, sebagai Psikiater, Raisa berhasil memulihkan kondisi Yin.
Namun sesekali ia teringat dengan kekasihnya, Albert, ia pun memutuskan untuk menelpon Albert, namun Yin tak dapat menghubunginya, Albert sudah pindah. Semenjak itu Yin dan Albert sudah tak pernah berkomunikasi lagi.
Pada suatu ketika, di sebuah kafe, Raisa mengajak Yin liburan ke Indonesia, namun Yin Menolak, Yin berkata “Itu bukan rumah aku kok, KTP ku emang Indonesia tapi aku orang China,” cetusnya.
Kemudian Raisa mulai menenangkan Yin kembali, “Kamu memang keturunan Chinese tapi kamu orang Indonesia kan?,” tanya Raisa.
Yin mulai naik darah, ia menjawab pertanyaan Raisa dengan nada keras dan kesal, “Kamu apa gak dengar kata mereka, Bunuh China, Bakar China, Habisi China, aku tuh sipit,” kesalnya.
Kembali Raisa memberi pengertian, “Semua orang enggak kaya gitu, dulu kamu kalau ditanya sama orang darimana kamu berasal?,” tanya Raisa kembali, “Indonesia”, jawab Yin. “Kamu enggak pernah bilang kalau kamu dari China kan?,” gugah Raisa. Yin bergeming sambil melirik-lirik menu makanan yang berada di atas meja.
Waktu terus berlalu, 13 tahun hidup di Amerika membuat Yin mulai sedikit dapat melupakan Indonesia, bahkan ia sempat mengajukan permohonan untuk mendapatkan status warga negara Amerika. Niatnya sudah bulat untuk jadi warga negara Amerika.
Suatu ketika, setelah selesai makan malam, Ayah Yin memanggil Yin untuk mendiskusikan rencana keluarga untuk kembali ke Indonesia, karena selama hidup di Amerika kedua orang tua Yin kerja kasar untuk bertahan hidup, sedangkan sanak keluarga Yin yang berada di Indonesia mendapat kehidupan yang layak dan bisnis yang bagus.
Yin secara tegas menolak, ia berkata “Aku enggak ikut” tegasnya, Ayah Yin kembali berusaha meyakinkan Yin, “Kamu itu orang Indonesia Fang, kamu lahir dan besar di sana,” bujuk Ayah Yin. Yin berkilah, “Aku juga diperkosa di sana,” timpal Yin.
Akhirnya Ayah dan ibu Yin pulang ke tanah air, dan Yin tetap bersikukuh tinggal di Amerika. Yin hidup sendiri di Amerika, ia benar-benar kesepian. Suatu hari, ia mulai mencari kabar Albert melalui media sosial di internet, tak disangka, Albert sudah punya kekasih baru, dan sudah menikah.
Yin memang sudah tak punya niatan untuk kembali Indonesia, sampai akhirnya ia kembali bertemu dengan Raisa yang baru saja tiba di Amerika setelah liburan, mereka bertemu di sebuah kafe, karena penasaran, Yin pun bertanya pada Raisa, “Liburan kemana lu?” tanya Yin. “Wakatobi, diving,” jawab Raisa. “Wakatobi itu Hawaii ya?” tanya Yin lagi, “Ha? Wakatobi itu di Sulawesi Tenggara, Indonesia,” jelas Raisa. Wajah Yin kembali mengerut.
“Indonesia sudah berubah Fang, totally different,” tambah Raisa. Pintu hati Yin mulai tergugah, ia kemudian mencoba memberanikan diri untuk mencari informasi tentang Indonesia di internet. Ia kaget saat menjumpai informasi Indonesia; kondisi Indonesia sudah stabil, beberapa keturunan Tionghoa menjadi menteri. Setiap tahunnya Imlek menjadi hari libur untuk diperingati, Barongsai bebas melenggak lenggok, dan Fang Yin mulai merasakan rindu.
Kemarahan Yin mulai mereda. Ia mulai merindukan masa remajanya di kampung halaman, rindu mimpi-mimpinya yang belum terwujud, Yin mulai berdamai dengan masa lalunya. Ia memaafkan semua yang pernah terjadi. Dan akhirnya ia kembali pulang ke tanah air dan mulai merajut mimpinya yang sudah lama terkubur.
(FIT)
https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/ybJ45lAK-refleksi-mei-98-dari-sapu-tangan-fan-ying
Refleksi Mei 98 dari “Sapu Tangan Fan Ying” Read More »