Peluncuran Buku Puisi Esai Indonesia-Malaysia dan Sayembara Menulis Puisi Esai ASEAN di Bandaranjaya, Kota Kinabalu. (KASTARA)
Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu, Malaysia Krishna Djelani bersama Menteri Pelajaran dan Inovasi Negeri Sabah Datuk DR Yusof Yacub meresmikan peluncuran Buku Puisi Esai Indonesia-Malaysia dan Sayembara Menulis Puisi Esai ASEAN di Bandaranjaya, Kota Kinabalu.
Dalam rilis Jumat (16/11), Datuk Yusof Yacub mengapresiasi penerbitan buku dua bangsa serumpun tersebut. Datuk Yusof berharap para penulis, pegiat budaya dan sastra Nusantara untuk lebih kreatif dan mampu menelurkan lebih banyak karya sejenis di masa yang akan datang.
Senada, Konsul Jenderal RI Kota Kinabalu Krishna Djelani mengapresiasi peluncuran buku.
Denny JA, penggagas gerakan nasional puisi esai. (istimewa)
Jakarta (ANTARA News) – Lebih dari 200 penyair, penulis dan aktivis “memotret” batin isu sosial di 34 Provinsi dalam 34 buku melalui puisi esai di media sosial.
“Kini 34 buku puisi esai itu, satu buku mewakili satu provinsi, bisa diakses, dibaca bahkan diunduh oleh siapapun di Facebook bernama Perpustakaan Puisi Esai,” kata Denny JA, penggagas gerakan nasional puisi esai, dalam peluncuran 34 buku puisi esai melalui keterangan persnya di Jakarta, Minggu.
Denny dalam meme media sosial dengan tagline: “Dan Penyair Pun Membuat Sejarah,” itu mengatakan peluncuran tersebut bukan sekedar membuat buku puisi, tapi menjadi gerakan budaya dilihat dari banyak sisi.
“Dari sisi isi puisi, kita memahami aneka isu sosial dan kearifan lokal di setiap provinsi. Di Aceh misalnya, tergambar suasana batin dinamika individu. Di Papua, ada kisah seorang ayah yang membawa anaknya berobat pada klinik kesehatan terdekat, tapi harus berjalan kaki berhari- hari,” katanya.
Selain itu, ada kisah di Yogyakarta mengenai konflik keluarga akibat kemungkinan pewaris tahta kerajaan seorang perempuan. Ada kisah di Jawa Tengah tentang penduduk yang cemas karena tersingkir industri.
Menurut Denny, semua kisah adalah kisah nyata, dengan catatan kaki yang merujuk sumber informasi. Namun aneka kisah itu difiksikan agar lebih menyentuh. Dengan membaca 34 buku ini kita menyadari betapa kayanya kearifan lokal bumi nusantara.
“Jika dulu kita mengenal budaya Indonesia dari aneka buku ilmiah, kita kita bisa masuk ke batinnya melalui puisi esai,” ujarnya.
Denny menambahkan dari sisi puisi, semua menuliskan dalam bentuk puisi esai. Sebanyak lebih dari 170 puisi esai dalam 34 buku adalah puisi panjang yang berbabak. Uniknya, ada catatan kaki yang melampirkan fakta dan data menunjang kisah yang difiksikan. Dalam buku puisi esai itu tak hanya mendapatkan drama tapi juga informasi tentang sejarah atau isu sosial.
Dalam pengerjaan 34 buku puisi esai, Denny JA dibantu oleh sepuluh editor nasional, tiga koordinator wilayah, dan tim administrasi yang militan dan cinta berkarya dengan memerlukan waktu kurang lebih satu tahun.
“Di era media sosial, saya mencari cara paling mudah agar seluasnya publik bisa mengakses, membaca bahkan mengunduh 34 buku puisi esai. Cara paling jitu dan ngetrend, 34 buku itu bisa diakses di Facebook Perpustakan Puisi Esai. Data menunjukkan sebanyak 100-150 juta populasi Indonesia punya akun facebook,” katanya.
Denny mengungkapkan dua hal yang akan diupayakan ke depan, yaitu pertama tim akan memilih 34 puisi esai yang mewakili 34 provinsi untuk dibuatkan film pendek bekerjasama dengan TV nasional. Puisi esai akan mengawali betapa puisi dapat menjadi basis untuk divisualkan dalam film.
Kedua, karena begitu banyak ruang dalam puisi esai untuk diiisi oleh kisah moral, Denny JA dan komunitasnya berikhtiar membawa puisi esai masuk ke sekolah. “Saatnya karakter siswa ikut juga dibentuk melalui sastra,” ujarnya.
Angkatan puisi esai ingin mengembalikan puisi kepada masyarakat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jurnalis senior, Satrio Arismunandar menyambut baik datangnya angkatan puisi esai sebagai tonggak baru sastra Indonesia. Berbeda dengan angkatan sastra sebelumnya, ujar Satrio, angkatan puisi esai ingin mengembalikan puisi kepada masyarakat.
Satrio mengatakan puisi esai mendorong orang yang bukan atau bisa disebut penyair ambil bagian. Seperti dirinya yang sudah menuliskan buku soal korupsi dalam bentuk puisi esai. “Tak hanya saya, teman teman saya lainnya, dosen, aktivis, peneliti banyak juga yang sudah menulis bahkan membuat buku dalam bentuk puisi esai,” tutur dia, Senin (29/1)
Satrio menanggapi kontroversi tentang lahirnya angkatan baru dalam puisi Indonesia. Kontroversi pada Januari 2018 itu, yang tampaknya akan terus berlanjut, dipicu oleh momen akan terbitnya 34 buku puisi esai di 34 provinsi seluruh Indonesia. Karya-karya itu ditulis oleh 170 penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.
Bagi Satrio, di era demokrasi sesorang bebas berkarya dan membuat klaim. “Biarlah publik yang menilai. Namun angkatan puisi esai sudah melakukan apa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini bagi saya bukan hanya kegiatan membuat buku tapi tonggak budaya.”
NUSANTARANEWS.CO – Babak Baru Panggung Kesenian, Social Media, dan Civic Jurnalism. Live streaming social media akan membawa ruang publik Indonesia ke tahap yang berbeda. Tak hanya pemerintah dan pemilik modal besar yang kini mudah menyebarkan gagasaan dan framing kepada publik luas.
Telah datang teknologi yang murah dan efektif untuk memperkuat individu dan komunitas biasa. Kini rakyat banyak punya kesempatan sama mewarnai ruang publik karena datangnya era LIVE streaming social media.
Untuk pentas seni, era baru Indonesia terjadi semalam (28 Juli 2017). Sekelompok seniman Jakarta dan sekitarnya, SELACI (Seni Lapak Cikini), secara sadar ataupun tidak sudah memulai sejarah baru.
Mereka (SELACI) bukan bagian konglomerat yang memiliki televisi. Mereka tak punya dana besar untuk membeli jam siar televisi (blocking time). Tapi mereka behasil menyiarkan pentas seni LIVE kepada publik luas dimanapun berada di seluruh dunia, sejauh bisa dijangkau internet, selama 3,5 jam di prime time pula.
Publik luas hanya dengan handphone dapat mengikuti pentas seni itu secara langsung real time. Mereka bisa menikmati pentas seni itu sambil duduk di taman. Mereka bisa menonton LIVE ketika sedang di atas bus kota. Bisa pula mereka sedang minum kopi di beranda rumah, atau sambil mengerjakan tugas tambahan di kantor, tapi tetap tune in dengan pentas seni.
Kebetulan momen pertama siaran langsung Live Streaming Facebook itu memperingati hari puisi Indonesia. Dari Taman Ismail Marzuki, belasan seniman, penyiar, musisi, pemain drama, secara bergantian mengekspresikan karya seni.
Saya sendiri menikmati momen itu di kantor. Saya hubungkan facebook ke layar lebar. Selama 3,5 jam sambil menerima tamu, sambil menanda tangani aneka dokumen, lalu main catur, saya tetap bisa menikmati pentas seni itu LIVE secara virtual.
***
Jika dulu ada Teologi Pembebasan, kini ada Teknologi Pembebasan. Teologi pembebasan adalah ikhtiar para agamawan dan pemimpin politik menafsir ulang teologi untuk membebaskan masyarakat dari tekanan rezim yang berkuasa.
Sedangkan teknologi pembebasan adalah era baru teknologi yang begitu murah dan efektif sehingga bisa dengan mudah memperkuat individu dan jaringan komunitas. Cukup dengan handphone yang tersambung dengan internet, seorang individu kini dimungkinkan mengirimkan informasi yang kemudian viral diketahui seluruh dunia.
Para seniman di Selaci sudah berhasil menggunakan “teknologi pembebasan” itu menyiarkan pentas seni mereka LIVE kepada populasi seluruh dunia selama 3,5 jam yang bisa mengakses facebook. Bisa kita bayangkan apa yang bisa terjadi jika isi dari pentas itu adalah informasi yang sangat berharga.
Dengan modus yang sama, bisa saja yang dijadikan LIVE itu adalah berita penindasan dan ketidak adilan di sebuah wilayah. Atau hasil riset mengenai bobroknya sebuah institusi berpengaruh. Atau renungan hidup yang begitu powerful.
Social media ini membuat civic jurnalism semakin menyebar dan semakin sulit dikontrol siapapun. Pusat pengaruh dan informasi semakin terdesentralisasi. Aneka pesan begitu cepat masuk dan meluas di ruang publik untuk bisa menghentak ruang publik.
Sudah banyak riset ditulis mengenai peran social media dan teknologi pembebasan ini (liberation technology) ikut mempercepat proses demokrasi di Timur Tengah, Asia dan Amerika Latin.
Untuk kasus Arab spring di Mesir misalnya, sosial media ikut menyalakan api ratusan ribu penduduk berkumpul di Tahrir Square. Ujung dari gerakan itu jatuhnya rezim otoriter Husni Mobarak.
Itu potensi yang kini disediakan social media dan civic jurnalism. Namun dalam situasi politik normal, untuk pentas seni saja, live streaming adalah sesuatu.
Selesai acara, saya melihat data di Facebook, live streaming acara Selaci itu ditonton secara virtual oleh lebih dari 5 ribu (views) dan dilihat sepintas oleh lebih dari 10 ribu (people reach). Itu artinya sama dengan membuat pertunjukkan full house di Istora Senayan, yang kapasitas penontonnya 7000 orang.
Selamat buat Selaci yang ikut memulai era baru pentas seni. Acara ini akan terus dibuat setiap jumat setiap bulan. Itu akan selalu LIVE dari TIM untuk publik luas di seluruh pelosok Indonesia, yang bisa mengakses facebook.
Penulis: Denny JA,Sastrawan, Peneliti, dan Pendiri Lingkaran Survei Indonesia Editor: Ach. Sulaiman
Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo saat berpidato di hadapan peserta Rapat Koordinasi Teknis Hukum (Rakorniskum) TNI tahun 2017, yang mengangkat tema “Melalui Rakorniskum TNI Kita Mantapkan Sinergitas Penegak Hukum Guna Terwujudnya TNI Yang Kuat, Hebat, Profesional dan Dicintai Rakyat Dalam Rangka Mendukung Tugas Pokok TNI”, bertempat di Aula Gatot Subroto Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (26/4). Foto : Puspen TNI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membacakan puisi Denny JA soal ketidakadilan sosial dalam Rapimnas Partai Golkar di Balikpapan, Kaltim, Senin (22/5).
“Potongan video itu diupload Denny JA di akun twitter dan facebooknya,” kata Penggagas Anti Diskriminasi Denny JA dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (22/5).
Menurutnya, puisi yang dibacakan Panglima TNI itu itu memang kental isu ketidakadilan sosial yang relevan dengan isu saat ini. Antara lain bunyinya “Desa semakin kaya tapi bukan kami punya. Kota semakin kaya tapi bukan kami punya”
Denny mengaku mendapatkan video itu dari salah seorang pengurus Partai Golkar bidang komunikasi dan media. “Saya senang jika semakin banyak pemimpin membaca puisi,” ujarnya.
Denny mengapresiasi Panglima TNI yang memang peka dengan batin masyarakat. “Tentu pak Gatot juga merasa isu ketidakadilan sosial adalah penyakit masyarakat,” katanya.
Denny JA’s World pada Senin 22 Mei 2017 di media sosial Youtube mengunggah video Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat membacakan potongan puisi Denny JA di acara Rapimnas Partai Golar di Balikpapan, Kaltim.
Berikut naskah asli puisi milik Denny JA
Tapi Bukan Kami Punya Oleh Denny JA
Sungguh Jaka tak mengerti Mengapa ia dipanggil polisi Ia datang sejak pagi Katanya akan diinterogasi
Dilihatnya Garuda Pancasila Tertempel di dinding dengan gagah Terpana dan terdiam si Jaka Dari mata burung garuda Ia melihat dirinya Dari dada burung garuda Ia melihat desa Dari kaki burung garuda Ia melihat kota Dari kepala burung garuda Ia melihat Indonesia
Lihatlah hidup di desa Sangat subur tanahnya Sangat luas sawahnya Tapi Bukan Kami Punya
Lihat padi menguning Menghiasi bumi sekeliling Desa yang kaya raya Tapi Bukan Kami Punya
Lihatlah hidup di kota Pasar swalayan tertata Ramai pasarnya Tapi Bukan Kami Punya
Lihatlah aneka barang Dijual belikan orang Oh makmurnya Tapi Bukan Kami Punya
Jaka terus terpana Entah mengapa Menetes air mata Air mata itu Ia yang Punya
-000-
Masuklah petinggi polisi Siapkan lakukan interogasi Kok Jaka menangis? Padahal ia tidak bengis?
Jaka pemimpin demonstran Aksinya picu kerusuhan Harus didalami lagi dan lagi Apakah ia bagian konspirasi? Apakah ini awal dari makar? Jangan sampai aksi membesar?
Mengapa pula isu agama Dijadikan isu bersama? Mengapa pula ulama? Menjadi inspirasi mereka?
Dua jam lamanya Jaka diwawancara Kini terpana pak polisi Direnungkannya lagi dan lagi
Terngiang ucapan Jaka Kami tak punya sawah Hanya punya kata Kami tak punya senjata Hanya punya suara
Kami tak tamat SMA Hanya mengerti agama Tak kenal kami penguasa Hanya kenal para ulama
Kami tak mengerti Apa sesungguhnya terjadi Desa semakin kaya Tapi semakin banyak saja Yang Bukan Kami Punya
Kami hanya kerja Tapi mengapa semakin susah? Kami tak boleh diam Kami harus melawan Bukan untuk kami Tapi untuk anak anak kami
-000-
Pulanglah itu si Jaka Interogasi cukup sudah Kini petinggi polisi sendiri Di hatinya ada yang sepi
Dilihatnya itu burung garuda Menempel di dinding dengan gagah Dilihatnya sila ke lima Keadian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kini menangis itu polisi Cegugukan tiada henti
Dari mulut burung garuda Terdengar merdu suara Lagu Leo kristi yang indah Salam dari Desa Terdengar nada: “Katakan padanya padi telah kembang Tapi Bukan Kami Punya”