Berita

Lilin dan Puisi untuk Yy yang Diperkosa 14 Lelaki

Sabtu 14 May 2016 14:31 WIB

Red: Erik Purnama Putra

Tagar #NyalaUntukYuyun yang sempat meramaikan Twitter terkait dengan seorang siswi SMP, Yuyun yang tewas karena diperkosa
Tagar #NyalaUntukYuyun yang sempat meramaikan Twitter terkait dengan seorang siswi SMP, Yuyun yang tewas karena diperkosa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Pemberdayaan perempuan Yohana Yembise, Menteri Kebudayaan Anies Baswedan, dan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin berkumpul bersama ratusan aktivis menggelar doa dan menyalakan ratusan lilin dalam acara ‘Save Our Sisters’ di Tugu Proklamasi Jakarta, Jumat (13/5) malam WIB.

Mereka berdoa, berorasi, dan menggelar talk show memprotes kekerasan seksual menimpa anak-anak dan perempuan. Momen tersebut sekaligus digunakan memperingati 40 hari tewasnya Yy (14 tahun), yang diperkosa 14 lelaki.

Acara diawali dengan doa bersama yang dipimpin Kiai Maman Imanul Haq. Salah satu panitia Ilma Sovri Yanti menyatakan, pemerintah dan DPR saatnya menyepakati UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban pemerkosaan.

Kemudian, dibacakan pula puisi karya Denny JA oleh Monica Anggi Puspita, tentang kekerasan seksual yang dialami Yuyun.
Berikut isi puisi tersebut:


Tangis Yuyun Kepada Ibunya

Ibu, sempat terdengarkah suaraku?
Kupanggil berkali-kali namamu
Saat belasan orang memperkosaku
yang ingin kulihat hanya wajahmu

“Ibu, tolong aku..”
“Ibuuuuuuu, ibuuuuuuu….”
Kuteriakkan lagi dan lagi
Saat aku takut
Saat aku sakit
Saat aku menjerit
Saat aku menangis sejadi-jadinya

Bulan ditusuk samurai
Melati putih disiram lumpur
Ranting muda patah
Tak kuasa dideru angin

Siang itu
2 April hari Sabtu
Dari sekolah kubawa bendera
Tugasku mencucinya di rumah
Untuk hari Senin upacara

Tiada istimewa
Kulewati kebun karet biasa
Aku pulang sendiri
Berjalan kaki
Seperti saban hari

Sambil berjalan selalu
Kubayangkan cita-citaku
Menjadi guru
14 tahun sudah usiaku
Kuingin sekali membuatmu bangga ibu

Di dahan pohon itu
Kulihat seekor burung berkicau selalu
Tak pernah kulihat sebelumnya
Kicauannya kudengar tiada pernah

Aku terdiam berhenti
Menyimaknya dengan teliti
Entah mengapa
Hatiku tiba tiba hampa
Seperti luka
Yang menganga

Aku terus saja berjalan
Kujumpa remaja bergerombol belasan
Kukenali yang ini dan itu
Mereka kakak kelasku

Tapi aku mulai was-was
Karena mereka bau minum keras
Mata mereka ganas
Menjelma menjadi harimau buas

Tapi ibu
Cepat sekali mereka menerkamku
Dengan paksa ingin menciumku
Astaga, mereka merobek bajuku

Aku takut, ibu
Kupanggil namamu
Aku melawan sebisaku
Sekuat tenagaku
Aku meronta
Aku berteriak
Aku menangis keras

Tapi mereka lebih kuat, ibu
Mereka pukul kepalaku
keras sekali dengan kayu
Mereka ikat tanganku
Mereka cekik leherku

Aku mereka bawa paksa
Menjauh ke semak-semak sana
Tempat itu sepi sekali
Tambah membuatku ngeri

Astaga ibuuuuu..
Mereka memperkosaku
Belasan mereka bergiliran
Lagi dan lagi bergantian
Ampuuuunnnn…
Aku menangis
Aku terjang
Melawan yang aku bisa
Berkali-kali ibu
Kupanggil namamu
Hingga tiada lagi rasa
Tiada suara
Tiada warna
Tiada apa

Bunga segar jatuh ke tanah
Tak berdaya dan punah

Ibu, tak kuduga aku mati muda
kini aku di alam berbeda
Kulihat jasadku merana
Mereka tutupi dengan daun
Seolah tanaman yang rimbun

Burung yang aku lihat di kebun karet itu
Kulihat lagi di alamku yang baru
Ia terus berkicau
Kini bisa kulihat suaranya
Di hati banyak orang bergema
Membangunkan nurani sebuah negeri

Kulihat para sahabat di banyak tempat
Menyalakan lilin untukku
Agar tiada lagi kekerasan
Bagi perempuan
Bagi bocah ingusan

Ibu, burung itu berbisik teduh
Ia berkata padaku
Jangan lagi aku bersedih
Kematianku tidak sia-sia
para pejuang di seluruh negeri
Menjadikan deritaku
Sebagai derita mereka

Aku menangis ibu
Terharu
Kukatakan pada burung itu
Jangan lagi ada seperti aku

Jakarta, Mei 2016

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/05/14/o75owe334-lilin-dan-puisi-untuk-yy-yang-diperkosa-14-lelaki

Lilin dan Puisi untuk Yy yang Diperkosa 14 Lelaki Read More »

‘Konspirasi Suci’ Juara Lomba Puisi Esai 2013

Senin 30 Jun 2014 12:00 WIB

Red:

Puisi “Konspirasi Suci” karya Burhan Shiddiq dari Bandung, dinobatkan sebagai juara pertama Lomba Puisi Esai 2013. Menyusul di peringkat kedua, puisi berjudul “Balada Cinta Upiak dan Togar” karya Riduan Situmorang (Medan, Sumatra Utara). Sedangkan, puisi “Cerita Duka dari Negeri Keratuan Darah Putih” karya sastrawan Lampung, Isbedy Setiawan ZS, menyabet juara ketiga.

Ketua Dewan Juri Agus R Sarjono mengatakan, peserta Lomba Puisi Esai Tahun 2012-2013 yang dihelat oleh Jurnal Sajak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah partisipan pada tahun sebelumnya, yang hanya 428 peserta. Sedangkan, peserta kali ini menembus angka 888 partisipan. Hal ini mengukuhkan Jurnal Sajak kembali akan menggelar perhelatan serupa secara berkesinambungan.

Ia menjelaskan, lomba puisi juara pertama karya sarjana S-2 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu dinilai layak menyisihkan ratusan peserta lainnya. Puisi tersebut berkisah tentang dunia batin seorang homoseksual dalam lingkungan gereja.

“Puisi yang menurut saya amat menarik, membongkar ‘seksualitas’ tak lazim justru terjadi di kalangan gereja,” kata  mantan redaktur majalah sastra Horison itu saat mengumumkan para pemenang lomba, di Pisa Kafe Mahakam, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (24/6), seperti dikutip dari Antara.

Selain itu, katanya, dewan juri juga menetapkan 10 puisi esai terbaik dan 12 puisi esai menarik.  Puisi-puisi para pemenang dibukukan dalam enam judul buku yang diluncurkan pada penyerahan hadiah bagi pemenang. Sebagai bentuk apresiasi, panitia memberikan masing-masing Rp 12,5 juta untuk pemenang pertama, Rp 10 juta untuk juara kedua, dan Rp 7,5 juta bagi peringkat ketiga. Tak hanya itu, peserta 10 puisi terbaik masing-masing mendapatkan uang Rp 2 juta dan sertifikat.

Ia menjelaskan, lomba ini melalui dua tahap seleksi. Penjurian tahap pertama, yaitu dipercayakan kepada sejumlah tokoh, antara lain, Elza Peldi Taher, Jonminofri Nazit, Ahmad Gaus, Novriantoni Kahar, dan Ahmad Sybbanuddin Alwy.

Sedangkan pada tahap kedua, dewan juri terdiri dari Agus R Sarjono, Acep Zamzam Noor, dan Jamal D Rahman. Pada tahap terakhir ini sekaligus menetapkan 12 puisi esai menarik, terbaik, dan tiga puisi esai juara. “Untuk menetapkan puisi terbaik memang berat sehingga harus cermat dan ekstrahati-hati,” kata Agus.     

‘Konspirasi Suci’ Juara Lomba Puisi Esai 2013 Read More »

Refleksi Mei 98 dari “Sapu Tangan Fan Ying”

(capture:youtube)
Capture : Youtube

medcom.id, Jakarta: Sudah dua windu silam, tragedi berdarah itu terjadi. Puluhan ribu warga keturunan Tionghoa turut menjadi korban dalam peristiwa yang disebut “Tragedi Mei 98”.
 
Untuk memaknai 16 tahun tragedi kemanusiaan itu, perhimpunan Generasi Muda Indonesia Tionghoa (GEMA INTI) dan Komnas Perempuan terpanggil untuk memperingatinya dengan mengadakan acara Malam Refleksi 16 Tahun Tragedi Mei 98 dengan tema, “Menolak Lupa : Forgiven NOT Forgotten” di Kantor Komnas Perempuan,Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2014).
 
Inti dari acara ini adalah merefleksikan kembali ingatan terhadap tragedi Mei 98 yang sudah terjadi 16 tahun lalu melalui penayangan sebuah film yang menceritakan gadis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan massal pada saat tragedi itu terjadi.

Film itu berjudul “Sapu Tangan Fang Yin” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film diadaptasi dari puisi esai karangan Denny JA.

Setelah melalui beberapa rangkaian acara, sekitar pukul delapan malam, pemutaran film dimulai. Setelah semua lampu ruangan dimatikan, suasana berubah hening hingga suara langkah kaki pun begitu jelas terdengar di ruangan yang berukuran 15 x 7 meter persegi itu.

Film itu sendiri menceritakan tentang seorang gadis Tionghoa bernama Fang Yin yang memiliki mimpi untuk mendirikan yayasan bagi anak jalanan yang tak mendapat pendidikan. Setiap hari, selepas kuliah, Yin selalu menyempatkan datang di salah satu kolong jembatan, di sana ia mengajar berbagai ilmu pendidikan kepada anak-anak jalanan.

Hubungan Yin dengan anak didiknya begitu dekat, bahkan bila kegiatan belajar usai, salah satu muridnya bernama Vila selalu sedih karena harus ditinggal Yin pulang, di saat itu lah datang Albert yang membagi-bagi permen agar anak-anak kembali ceria. Albert sendiri adalah pacar Yin, ia pacar yang baik karena selalu mendukung semua kegiatan Yin.

Setelah selesai mengajar, Yin dan Albert bertolak pulang, namun mereka selalu mampir berehat di sebuah warung tempat biasa mereka makan. Di warung ini banyak obrolan yang mereka perbincangkan, obrolan soal anak-anak menjadi topik yang paling banyak mereka diskusikan, sampai akhirnya Yin mengutarakan mimpinya yakni mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak jalanan.

Albert menanggapi dengan semangat dengan seraya berkata, “Kenapa cuma mimpi? ayo kita jalankan, ntar kita cari caranya deh,” sahut Albert. Senyum Yin mulai melebar sambil memperhatikan cara Albert menyantap makanannya.

Hingga tiba pada hari yang membuat kehidupan Yin berubah ketika pada hari rabu 13 Mei 1998, Yin yang tengah menonton TV saat itu, mendapat telepon dari ayahnya. Dengan suara terengah-engah ayah Yin berkata, “Fang Yin, kunci semua pintu, tutup semua jendela, jangan sampai rumah kita mengundang, tutup semua gorden, papi masih di toko gak bisa pulang, di depan toko ramai,” perintah ayah Yin.

Yin dan pembantunya segera menutup pintu, namun terlambat, pembantu Yin dipukul hingga terjatuh oleh segerombolan orang, Yin menuju kamarnya untuk bersembunyi, ia sesegera mungkin menyelinap ke bawah tempat tidur sambil menelpon ayahnya.

Sayang, Yin terkejut sambil menjatuhkan telepon yang sedang tersambung ke telepon ayahnya. Karena ketahuan bersembunyi, ia tak bisa melarikan diri, ia sudah dikepung oleh lima orang pria berwajah bengal. Rambut Yin dijambak, tubuhnya diseret ke ranjang, pipinya ditampar hingga tak berdaya. Ssekali mulut Yin disumpal oleh tangan salah satu pria karena ia menjerit ketakutan. Ayah Yin hanya bisa pasrah mendengar rintihan putrinya melalui suara telpon yang dijatuhkan Yin.

Pada adegan ini, beberapa penonton wanita yang menyaksikan film itu gusar, sesekali mengganti posisi duduk mereka, sempat terdengar teriakan kecil. Ada yang menutup wajah dengan tangan, ada pula yang membalikkan kepala mereka yang tak sanggup menonton adegan di film itu.

Pada saat tragedi itu, banyak gadis bernasib sama dengan Yin. Tercatat sebanyak 78 orang warga keturunan menjadi korban perkosaan, 85 orang mengalami kekerasal seksual, 1.217 orang tewas mengenaskan. 1.190 di antaranya mati terbakar, 91 orang mengalami luka parah, dan 31 orang dinyatakan hilang.

Ayah Yin berusaha mencari keadilan dengan meminta bantuan pengacara dengan bayaran berapapun untuk menuntut pelaku yang membuat putrinya mengalami depresi.Namun upaya ini tak membuahkan hasil. Ayah Yin juga melaporkan ke pihak kepolisian, namun hasilnya juga nihil.

Kondisi putrinya Yin tak mengalami kemajuan, bahkan orang tua Yin membawa guru spiritual untuk mengajarkan keikhlasan konghucu agar dapat melupakan masa lalunya dan kembali hidup normal. Kondisi Yin mulai berangsur pulih, namun ia tetap tidak dapat melupakan peristiwa yang merenggut kehormatannya itu.

Sementara itu kondisi di masyarakat mulai tenang, namun sebagian warga Tionghoa memendam kekhawatiran bahwa peristiwa itu terulang kembali. Mereka banyak menjual barang-barang berharga mereka untuk bersiap-siap hengkang dari Indonesia untuk merantau ke manca negara.

Suatu ketika, Albert menelpon Yin, berkali-kali ditelpon tak mendapat jawaban, ternyata Yin dan Keluarganya sudah pindah ke Amerika untuk menata kehidupan yang baru, semenjak tragedi Mei itu tercatat 70 ribu warga keturunan meninggalkan Indonesia.

Hidup di Amerika, membuat Yin lebih tenang. Ia pun dikenalkan orang tuanya kepada psikiter bernama Raisa, sebagai Psikiater, Raisa berhasil memulihkan kondisi Yin.

Namun sesekali ia teringat dengan kekasihnya, Albert, ia pun memutuskan untuk menelpon Albert, namun Yin tak dapat menghubunginya, Albert sudah pindah. Semenjak itu Yin dan Albert sudah tak pernah berkomunikasi lagi.

Pada suatu ketika, di sebuah kafe, Raisa mengajak Yin liburan ke Indonesia, namun Yin Menolak, Yin berkata “Itu bukan rumah aku kok, KTP ku emang Indonesia tapi aku orang China,” cetusnya.

Kemudian Raisa mulai menenangkan Yin kembali, “Kamu memang keturunan Chinese tapi kamu orang Indonesia kan?,” tanya Raisa.

Yin mulai naik darah, ia menjawab pertanyaan Raisa dengan nada keras dan kesal, “Kamu apa gak dengar kata mereka, Bunuh China, Bakar China, Habisi China, aku tuh sipit,” kesalnya.

Kembali Raisa memberi pengertian, “Semua orang enggak kaya gitu, dulu kamu kalau ditanya sama orang darimana kamu berasal?,” tanya Raisa kembali, “Indonesia”, jawab Yin. “Kamu enggak pernah bilang kalau kamu dari China kan?,” gugah Raisa. Yin bergeming sambil melirik-lirik menu makanan yang berada di atas meja.

Waktu terus berlalu, 13 tahun hidup di Amerika membuat Yin mulai sedikit dapat melupakan Indonesia, bahkan ia sempat mengajukan permohonan untuk mendapatkan status warga negara Amerika. Niatnya sudah bulat untuk jadi warga negara Amerika.

Suatu ketika, setelah selesai makan malam, Ayah Yin memanggil Yin untuk mendiskusikan rencana keluarga untuk kembali ke Indonesia, karena selama hidup di Amerika kedua orang tua Yin kerja kasar untuk bertahan hidup, sedangkan sanak keluarga Yin yang berada di Indonesia mendapat kehidupan yang layak dan bisnis yang bagus.

Yin secara tegas menolak, ia berkata “Aku enggak ikut” tegasnya, Ayah Yin kembali berusaha meyakinkan Yin, “Kamu itu orang Indonesia Fang, kamu lahir dan besar di sana,” bujuk Ayah Yin. Yin berkilah, “Aku juga diperkosa di sana,” timpal Yin.

Akhirnya Ayah dan ibu Yin pulang ke tanah air, dan Yin tetap bersikukuh tinggal di Amerika. Yin hidup sendiri di Amerika, ia benar-benar kesepian. Suatu hari, ia mulai mencari kabar Albert melalui media sosial di internet, tak disangka, Albert sudah punya kekasih baru, dan sudah menikah.

Yin memang sudah tak punya niatan untuk kembali Indonesia, sampai akhirnya ia kembali bertemu dengan Raisa yang baru saja tiba di Amerika setelah liburan, mereka bertemu di sebuah kafe, karena penasaran, Yin pun bertanya pada Raisa, “Liburan kemana lu?” tanya Yin. “Wakatobi, diving,” jawab Raisa. “Wakatobi itu Hawaii ya?” tanya Yin lagi, “Ha? Wakatobi itu di Sulawesi Tenggara, Indonesia,” jelas Raisa. Wajah Yin kembali mengerut.

“Indonesia sudah berubah Fang, totally different,” tambah Raisa. Pintu hati Yin mulai tergugah, ia kemudian mencoba memberanikan diri untuk mencari informasi tentang Indonesia di internet. Ia kaget saat menjumpai informasi Indonesia; kondisi Indonesia sudah stabil, beberapa keturunan Tionghoa menjadi menteri. Setiap tahunnya Imlek menjadi hari libur untuk diperingati, Barongsai bebas melenggak lenggok, dan Fang Yin mulai merasakan rindu.

Kemarahan Yin mulai mereda. Ia mulai merindukan masa remajanya di kampung halaman, rindu mimpi-mimpinya yang belum terwujud, Yin mulai berdamai dengan masa lalunya. Ia memaafkan semua yang pernah terjadi. Dan akhirnya ia kembali pulang ke tanah air dan mulai merajut mimpinya yang sudah lama terkubur.

(FIT)

https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/ybJ45lAK-refleksi-mei-98-dari-sapu-tangan-fan-ying

Refleksi Mei 98 dari “Sapu Tangan Fan Ying” Read More »

Bersaksi Sosial Melalui Puisi Esai

KAMIS, 20 MARET 2014 | 12:39 WIB | LAPORAN: ADE MULYANA

rmol.id Puisi tak lagi hanya ekspresi batin, tapi kini juga bagian dari sosialisasi sebuah perjuangan sosial. Untuk itu, para penyair pun memberikan kesaksian sosial melalui puisi esai. Kemarin (Rabu, 19/3), di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, para penyair meluncurkan lima buku puisi esai. Peluncuran itu lebih mirip pertunjukan teater atau wayang modern. Masing-masing penyair membacakan secuplik saja dari puisinya.

Sujiwo Tejo selaku dalang mencoba menjahit aneka penggalan puisi itu dalam satu kisah yang mengalir selama hampir dua jam. Format pertunjukan seperti menceritakan pewayangan dengan dalangnya.

Para penulis kawakan yang biasa menulis puisi lirik, penulis cerpen, atau esai kini bereksperimen menulis puisi esai. Hasilnya membuka dunia baru. Beberapa penyair yang selama hidupnya menulis puisi lirik, dengan puisi esai ternyata menggarap tema yang sama sekali berbeda dengan tema-tema yang biasa mereka tulis.

Ahmadun Y. Herfanda yang biasa menulis puisi lirik relijius, dengan puisi esainya justru menggarap tema baru mengenai konflik sosial dan ideologi. Begitu juga dengan 22 penyair lainnya. Mereka kini fasih mengangkat tema sosial, mulai dari kisah pemberontakan komunisme, isu pelacuran, korupsi, diskriminasi sampai uraian seorang tokoh yang kini menjadi Capres 2014, Jokowi.

Dalam jajaran penulis puisi esai itu, ada Sujiwo Tejo, Agus Noor, Chavchay Saefullah, Akidah Gauzillah, Anis Sholeh Ba’asyin, Dianing Widya, Ahmadun Yosi Herfanda, Anwar Putra Bayu, D. Kemalawati, Handry Tm, Mezra E. Pellondou, Salman Yoga S, Mustafa Ismail, Kurnia Effendi, Bambang Widiatmoko, Nia Samsihono, Anisa Afzal, Isbedy Stiawan ZS, Remmy Novaris, Sihar Ramses Simatupang, dan Rama Prabu.

Sejak puisi esai ditulis Denny JA dan diterbitkan dalam buku Atas Nama Cinta, istilah puisi esai pun menjadi perdebatan dimana-mana, terutama di kalangan para penulis puisi dan sastrawan. Ada pihak yang menolak dengan keras, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang menyambut dengan gembira. Perdebatan menjadi lebih keras lagi setelah terbit buku 33 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sastra Indonesia terbitan Gramedia dan PDS HB Jassin. Denny JA masuk dalam list itu karena kepeloporannya dan followersipnya dalam puisi esai.

Sementara yang menyambut gembira, umumnya adalah beberapa penulis yang menulis esai, cerpen, atau tulisan lain tapi jarang atau tidak pernah menulis puisi.

Buku puisi esai yang terbit saat ini menyusul terbitnya buku Atas Nama Cinta karya Denny JA. Penulis yang tidak pernah membayangkan bahwa mereka bisa dan boleh menulis puisi. Buku puisi esai itu adalah: Kutunggu Kamu di Cisadane, karya Ahmad Gaus (2012); Manusia Gerobak karya Elza Peldi Taher (2013); Imaji Cinta Halima karya Novriantoni Kahar (2013). Terakhir buku puisi esai yang memotret diskriminasi agama karya aktivis sosial Anick HT: “Kuburlah Kami Hidup-Hidup.”

Rencananya bulan April 2014, akan terbit lima buku puisi esai tambahan. Dalam usianya yang relatif pendek, puisi esai  terdokumentasi dalam total 23 buah buku puisi. Ini jumlah sebuah publikasi genre baru yang belum ada presedennya dalam sejarah sastra Indonesia.

Puisi esai yang dilahirkan Denny JA kini membuka dunia baru puisi. [dem]

https://rmol.id/amp/2014/03/20/148022/bersaksi-sosial-melalui-puisi-esai

Bersaksi Sosial Melalui Puisi Esai Read More »

23 Penyair Tampil dalam Lima Antologi Puisi Esai

23 Penyair Tampil dalam Lima Antologi Puisi Esai
Sujiwo Tejo menampilkan pertunjukan wayang. (Foto-foto: Ignatius Dwiana)

Pada Mei 1998, suasana Ibu Kota mencekam. Di tengah kegelapan, Fang Yin, perempuan keturunan Tionghoa, menjerit mencari Z

suJAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 23 penyair kondang tampil bareng dalam lima antologi puisi esai. Peluncuran buku bertema ‘Menating Suratan untuk Indonesia’ dilangsungkan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Rabu (19/3).

Beberapa di antara 23 penyair kondang itu yang karyanya dimuat seperti Agus Noor, Zawawi Imron, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Sujiwo Tejo. Karya mereka diterbitan dalam lima buku: Moro-Moro Algojo Merah Saga, Sungai Isak Perih Menyemak, Testamen di Bait Sejarah, Serat Kembang Raya, dan Jula Juli Asam Jakarta.

Lima buku itu diluncurkan dalam penampilan kolaborasi antara pertunjukan wayang dengan pembacaan penggalan puisi esai dari para penyair. Sujiwo Tejo tampil menjadi dalang yang menjahit aneka pembacaan penggalan puisi esai itu melalui pertunjukan wayang berlakon ‘Sastra Jendra Hayuningrat’.

Puisi esai dipopulerkan Denny JA melalui penerbitan bukunya, Atas Nama Cinta. Selanjutnya beberapa buku bergenre serupa ditulis para penulis dan intelektual yang bukan penyair. Mereka adalah orang-orang yang bergelut dalam masalah sosial dan keagamaan dan menuangkan pemahamannya lewat sastra dengan genre puisi esai ini. Setidaknya sudah 18 buku puisi esai terbit sampai dengan hari ini.

Acara lima antologi puisi esai ini hasil kerja bareng Jurnal Sajak, Rumah Kampung Dukuh, dan Denny JA’s Public Library Inspirasi.co.

Editor : Bayu Probo

23 Penyair Tampil dalam Lima Antologi Puisi Esai Read More »